Arti , teknik pembuatan, asal daerah, nama kain tiap daerah
, makna , gambar
Pengertian Batik
Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa
"amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk
pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang
diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau
dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing".
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama
Teknik pembuatan Batik
Cara Membuat Batik
Berikut ini adalah alat dan bahan yang harus
disiapkan untuk membuat batik tulis :
Kain mori (bisa terbuat dari sutra atau katun)
Canting sebagai alat pembentuk motif,
Gawangan (tempat untuk m enyampirkan kain)
Lilin (malam) yang dicairkan
Panci dan kompor kecil untuk memanaskan
Larutan pewarna
Adapun tahapan-tahapan dalam proses pembutan batik tulis ini:
Langkah pertama adalah membuat desain batik yang biasa
disebut molani. Dalam penentuan motif, biasanya tiap orang memiliki selera
berbeda-beda. Ada yang lebih suka untuk membuat motif sendiri, namun yang lain
lebih memilih untuk mengikuti motif-motif umum yang telah ada. Motif yang kerap
dipakai di Indonesia sendiri adalah batik yang terbagi menjadi 2 :
batik klasik, yang banyak bermain dengan simbol-simbol, dan batik pesisiran
dengan ciri khas natural seperti gambar bunga dan kupu-kupu. Membuat design
atau motif ini dapat menggunakan pensil.
Setelah selesai melakukan molani, langkah kedua adalah
melukis dengan (lilin) malam menggunakan canting (dikandangi/dicantangi) dengan
mengikuti pola tersebut.
Tahap selanjutnya, menutupi dengan lilin malam bagian-bagian
yang akan tetap berwarna putih (tidak berwarna). Canting untuk bagian halus,
atau kuas untuk bagian berukuran besar. Tujuannya adalah supaya saat pencelupan
bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena.
Tahap berikutnya, proses pewarnaan pertama pada bagian yang
tidak tertutup oleh lilin dengan mencelupkan kain tersebut pada warna tertentu
.
Setelah dicelupkan, kain tersebut di jemur dan dikeringkan.
Setelah kering, kembali melakukan proses pembatikan yaitu
melukis dengan lilin malam menggunakan canting untuk menutup bagian yang akan
tetap dipertahankan pada pewarnaan yang pertama.
Kemudian, dilanjutkan dengan proses pencelupan warna yang
kedua.
Proses berikutnya, menghilangkan lilin malam dari kain
tersebut dengan cara meletakkan kain tersebut dengan air panas diatas tungku.
Setelah kain bersih dari lilin dan kering, dapat dilakukan
kembali proses pembatikan dengan penutupan lilin (menggunakan alat
canting)untuk menahan warna pertama dan kedua.
Proses membuka dan menutup lilin malam dapat dilakukan
berulangkali sesuai dengan banyaknya warna dan kompleksitas motif yang
diinginkan.
Proses selanjutnya adalah nglorot, dimana kain yang telah
berubah warna direbus air panas. Tujuannya adalah untuk menghilangkan lapisan
lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas. Anda tidak
perlu kuatir, pencelupan ini tidak akan membuat motif yang telah Anda gambar
terkena warna, karena bagian atas kain tersebut masih diselimuti
lapisan tipis (lilin tidak sepenuhnya luntur). Setelah selesai, maka batik
tersebut telah siap untuk digunakan.
Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan
kemudian mengeringkannya dengan menjemurnya sebelum dapat digunakan dan
dipakai.
Nama kain di tiap daerah
* Batik Pekalongan
Sejarah Batik di Pekalongan dimulai dari pasca peperangan dan perpecahan di lingkungan kerajaan Mataram yang waktu itu dipimpin oleh rajanya Panembahan Senopati. Peperangan melawan kolonial belanda maupun perpecahan di antara lingkungan kraton memang kerap kali terjadi, hingga pada suatu saat kondisi yang paling parah menyebabkan banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Pekalongan. Keluarga-keluarga kraton yang memang telah mempunyai tradisi batik dan mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan ke daerah pengunsian di Pekalongan.
Di daerah Pekalongan tersebut akhirnya batik tumbuh dengan pesat seperti di Buaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Keluarga kraton yang mengungsi dan membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu, dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk mata pencaharian. Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya.
Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini.
Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, soga Jawa, dan sebagainya.
* Batik Cirebon (Megamendung)
Batik Cirebon atau Batik Megamendung sejarahnya berdasar pada buku dan seni sastra yang ada kerap memfokus pada asal usul masuknya bangsa Cina ke daerah Cirebon. Kejadian ini tidak mengcengangkan karena pelabuhan Muara Jati di Cirebon adalah tempat berlabuh para imigran dari luar dan dalam negeri. Terlihat nyata dalam sejarah, bahwa Sunan Gunung Jati yang menebarkan agama Islam di area Cirebon pada abad 16, menikahi Ratu dari Cina, Ong Tien. Beberapa karya seni yang diangkat dari Cina seperti keramik, piring dan kain berhiaskan gambar awan.
Dalam paham Taoisme, ilustrasi awan berati dunia atas. Lukisan awan merupakan gambaran dunia lebar, bebas dan mempunyai arti Ketuhanan. Konsep tentang awan juga penting di dunia Islam pada abad 16, yang dipakai Sufi untuk seperti alam bebas.
Ijab kabul Sunan Gunung Jati bersama Ratu Ong Tien menjadi perantara masuknya budaya Cina ke Kerajaan Cirebon. Sejumlah pembatik keraton memakai budaya Cina ke dalam motif batik yang mereka bikin, tapi tidak lupa dengan sentuhan Cirebon, jadi ada ketidaksamaan antara motif megamendung dari Cina dan yang dari Cirebon. Misalnya, pada motif megamendung Cina, gores awan menyerupai bulatan, beda yang dari Cirebon, gores awannya lonjong.
Sejarah batik di Cirebon juga terikat dengan pertumbuhan gerakan tarekat yang kabarnya berpusat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Membatik pada mulanya dikerjakan oleh anggota tarekat yang mengabdi di keraton sebagai sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tarekat tersebut. Para pengikut tarekat tinggal di desa Trusmi dan sekitarnya. Desa ini terletak kira-kira 4 km dari Cirebon menuju ke arah barat daya atau menuju ke arah Bandung. Oleh sebab itu, hingga sekarang batik Cirebon identik dengan batik Trusmi.
Unsur Motif Batik Megamendung
Motif megamendung yang pada mulanya sering berunsurkan warna biru diselingi warna merah melukiskan maskulinitas dan suasana dinamis, sebab dalam metode pembuatannya ada campur tangan laki-laki. Kaum laki-laki anggota tarekatlah yang pada mulanya merintis tradisi batik. Warna biru dan merah tua juga melukiskan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka dan egaliter.
Selain itu, warna biru juga disebut-sebut menyimbolkan warna langit yang luas, bersahabat dan tenang juga menyimbolkan pembawa hujan yang dinanti-nantikan sebagai pembawa kesuburan dan pemberi kehidupan. Warna biru yang dipakai mulai dari warna biru muda hingga dengan warna biru tua. Biru muda menyimbolkan makin cerahnya kehidupan dan biru tua menyimbolkan awan gelap yang berisi air hujan dan memberi kehidupan.
Dalam pertumbuhannya, motif megamendung mengalami banyak peningkatan dan dimodifikasi sesuai permintaan pasar. Motif megamendung digabungkan dengan motif hewan, bunga atau motif lain. Sebenarnya kombinasi motif seperti ini sudah dilakukan oleh para pembatik tradisional dari dulu, tetapi perkembangannya menjadi sangat pesat dengan adanya campur tangan dari para perancang busana. Selain motif, warna motif megamendung yang mulanya biru dan merah, sekarang berkembang menjadi beragam macam warna. Ada motif megamendung yang berwarna kuning, hijau, coklat dan lain-lain.
* Batik Jogja
Seni Batik Tradisional dikenal sejak beberapa abad yang lalu di tanah Jawa. Bila kita menelusuri perjalan perkembangan batik di tanah Jawa tidak akan lepas dari perkembangan seni batik di Jawa Tengah. Batik Jogja merupakan bagian dari perkembangan sejarah batik di Jawa Tengah yang telah mengalami perpaduan beberapa corak dari daerah lain.
Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.
Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.
Ciri khas batik gaya Yogyakarta , ada dua macam latar atau warna dasar kain. Putih dan Hitam. Sementara warna batik bisa putih (warna kain mori) biru tua kehitaman dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain, putih, diusahakan tidak sampai pecah sehingga kemasukan soga, baik kain berlatar hitam maupun putih. Ragam hiasnya pertama Geometris : garis miring lerek atau lereng , garis silang atau ceplok dan kawung , serta anyaman dan limaran.Ragam hias yang bersifat kedua non-geometris semen , lung- lungan dan boketan.Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu – Jawa ( Ny.Nian S Jumena ) antara lain :
Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi .
Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi )
Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia
atas.
Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.Terakhir, Sri Paduka Sultan HB VIII membuat peraturan baru ( revisi ) berjudul Pranatan dalem bab namanipun peangangge keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927, Yang dimaksud pangangge keprabon ( busana keprabon ) adalah:
Kuluk ( wangkidan )
Dodot / kampuh serta bebet prajuritan
Bebet nyamping ( kain panjang )
Celana sarta glisire ( celana cindhe , beludru , sutra ,
katun dan gelisirnya )
Payung atau songsong.
Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong ,
parang rusak gendreh)
Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos. Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah. Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah. Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas. Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua.
* Batik Solo
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan
kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa
catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram,
kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jaman Majapahit Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya.
Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakarta, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jaman Majapahit Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya.
Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakarta, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
* Batik Bali
Memang masih relatif baru, namun perkambangan industri batik
di Pulau Bali begitu pesat. Barangkali karena Bali menyimpan banyak
potensi motif dan desain lokal. Puluhan desain batik khas Bali telah lahir.
Dari yang berharga murah hingga yang selangit. Sejauh ini, harga pasaran
rata-rata batik tulis yang beredar di Bali Bali yang berkualitas
bagus berkisar antara Rp 350 ribu hingga Rp 2 juta. Tingginya harga tersebut
karena batik-batik tersebut dibuat dari kain bermutu dan digambar langsung
dengan tangan serta menggunakan bahan pewarna alami seperti yang dibuat oleh
Ida Ayu Pidada (dengan merek “Batik Wong Bali”) atau oleh A.A. Inten Trisna
Manuambari (dengan merek “Diamanta”).
Batik sendiri merupakan hasil kerajinan yang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak berabad-abad lalu, khususnya di Jawa. Istilah “batik” konon berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “nitik”yang berarti membuat titik. Secara bebas, kata “batik” merujuk pada teknik pembuatan corak dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna berupa malam (wax), yang diaplikasikan di atas kain. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, dan wol. Jika ada kain batik yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik di atas kain tersebut dinamakan kain bercorak batik, bukan kain batik. Kain macam itu biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak.
Di Bali, industri kerajinan batik dimulai sekitar dekade 1970-an. Industri tersebut dipelopori antara lain oleh Pande Ketut Krisna dari Banjar Tegeha, Desa Batubulan, Sukawati – Gianyar, dengan teknik tenun-cap menggunakan alat tenun manual yang dikenal dengan sebutan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Kerapnya orang Bali mengenakan batik untuk berupacara –sebagai bahan kain maupun udeng (ikat kepala), mendorong industri batik di pulau ini terus berkembang dang maju. Kini di Bali telah tumbuh puluhan industri Batik yang menampilkan corak-corak khas Bali, juga corak-corak perpaduan Bali dengan luar Bali seperti Bali-Papua, Bali-Pekalongan, dan lain-lain.
Batik sendiri merupakan hasil kerajinan yang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak berabad-abad lalu, khususnya di Jawa. Istilah “batik” konon berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “nitik”yang berarti membuat titik. Secara bebas, kata “batik” merujuk pada teknik pembuatan corak dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna berupa malam (wax), yang diaplikasikan di atas kain. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, dan wol. Jika ada kain batik yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik di atas kain tersebut dinamakan kain bercorak batik, bukan kain batik. Kain macam itu biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak.
Di Bali, industri kerajinan batik dimulai sekitar dekade 1970-an. Industri tersebut dipelopori antara lain oleh Pande Ketut Krisna dari Banjar Tegeha, Desa Batubulan, Sukawati – Gianyar, dengan teknik tenun-cap menggunakan alat tenun manual yang dikenal dengan sebutan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Kerapnya orang Bali mengenakan batik untuk berupacara –sebagai bahan kain maupun udeng (ikat kepala), mendorong industri batik di pulau ini terus berkembang dang maju. Kini di Bali telah tumbuh puluhan industri Batik yang menampilkan corak-corak khas Bali, juga corak-corak perpaduan Bali dengan luar Bali seperti Bali-Papua, Bali-Pekalongan, dan lain-lain.
SEJARAH BATIK DI INDONESIA
Sejarah Batik di Indonesia
Sejarah pembatikan
di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran
ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak
dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan
Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman MajapahitBatik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman MajapahitBatik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
MAKNA BATIK
MAKNA FILOSOFI BEBERAPA MOTIF BATIK
|
|
Batik Keraton Yogyakarta dan Surakarta
Batik Keraton Yogyakarta merupakan warisan dari pola-pola
batik zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, kerajaan Mataram Kotagede.
Ketika Mataram mengalami perpecahan tahun 1755 menjadi Kasultanan
Yogyakarta Hadiningrat da Surakarta Hadiningrat, Yogyakarta mendapat warisan
budaya Mataram. Sedangkan Surakarta akan membuat pola pola budaya baru. Oleh
karena itu seluruh busana keraton Mataram diboyong dari Kasunanan
Surakarta ke Kasultanan Yogyakarta atas permintaan Sultan Hamengku Buwana ke
I. Sedangkan Sunan Paku Buwana III sepakat akan membuat pola pola batik dan
busana baru
Bentuk pola desain batik Mataram sangat teratur, sebagian
besar polanya ditata secara geometris, perpaduan warnanya sangat tegas,
bahkan terkesan menyolok antara warna coklat dan putihnya, sehingga seringkali
menimbulkan kesan agak kaku. Batik Yogyakarta mempunyai warna soga coklat
kemerahan atau coklat tua, warna putih bersih dan biru tua.
Batik Kasunanan Surakarta diciptakan setelah tahun 1755,
yaitu sejak masa pemerintahn Sunan PB III. Penataan pola-polanya masih
mengikuti aturan-aturan tertentu dan setiap ornament motifnya melambangkan
arti filosofis dari pengaruh budaya-budaya tersebut, namun ornamen hiasnya
lebih beragam dan cenderung terkesan feminin. Batik keraton Surakarta
mempunyai warna-warna coklat kemerahan, biru tua dan warna putihnya cenderung
mengarah pada krem atau berwarna coklat kekuningan atau sogan.
BEBERAPA RAGAM MOTIF BATIK dan MAKNA FILOSOFINYA
CIPTONING
ornamen hias berupa sisik/gringsing, wayang, parang dan
gurdo. Simbol kebijaksanaan. Pemakainya pada
zaman kerajaan, biasanya para pejabat pemerintahan dengan
harapan agar bijaksana dlm mengatur negara.
PARANG: simbol ketajaman berpikir, keberanian,
kepemimpinan
Motif parang termasuk ragam hias larangan, artinya hanya raja
dan kerabatya diijinkan memakai. Besar kecilnya motif parang juga
menyimbolkan status sosial pemakainya di dalam lingkungan kerajaan.
Parang Barong, merupakan parang paling besar, diatas 20 cm ukuran besarnya
garis putih
Misal, para bupati hanya diperkenankan memakai parang
ukuran 4 cm. Sedangkan raja, permaisuri, putra mahkota bebas memakai ukuran
berapa pun. Para putra putri permaisuri diijinkan memakai ukuran 10 cm,
sedangkan para selir raja dibawah ukuran tersebut (8 cm). Motif ini
sangat baik dikenakan ksatria karena menyimbolkan usahanya dalam
mempertahankan negara dari ancaman musuh. Parang pantang dipakai mempelai
ketika prosesi panggih. Konon, rumah tangga mereka bakalan perang terus.
Untuk gaya putri Jogja : arah parang dari
kiri atas ke kanan bawah
Untuk laki laki jogja : arah parang dari kanan atas ke
kiri bawah
Untuk gaya surakarta, laki laki dan putri sama arahnya,
yaitu dari kanan atas ke kiri bawah
Pemakaian batik motif parang gaya Surakarta
SEGARAN CANDI BARUNA
Baruna merupakan dewa lautan, dewa yang mengajarkan makna
hidup dan kehidupan kpd Bima dlm pencariannya mengenai hakiki hidup.
Motif ini menjadi kebanggaan raja raja di Pura Pakualaman
ABIMANYU
Abimanyu merupakan putra Arjuna (Pandawa). Ia
akan mempunyai keturunan (Parikesit) yg akan menurunkan ksatria yg menjadi
raja-raja Jawa. Motif ini menyiratkan harapan agar pemakainya dapat memiliki
sifat sifat ksatria seperti sang Abimanyu.
Kawung
Motif Kawung berupa empat lingkaran atau elips
mengelilingi lingkaran kecil sebagai pusat dengan susunan memanjang menurut
garis diagonal miring ke kiri atau ke kanan berselang-seling.
Melambangkan 4 arah angin atau sumber tenaga yang mengelilingi yang berporos
pada pusat kekuatan, yaitu : timur (matahari terbit: lambang
sumber kehidupan), utara (gunung: lambang tempat tinggal para dewa, tempat
roh/kematian), barat (matahari terbenam : turunnya keberuntungan)
selatan (zenit:puncak segalanya).
Dalam hal ini raja sebagai pusat yang dikelilingi
rakyatnya. Kerajaan merupakan pusat ilmu, seni budaya, agama, pemerintahan,
dan perekonomian. Rakyat harus patuh pada pusat, namun raja juga senantiasa
melindungi rakyatnya.
Kawung juga melambangkan kesederhanaan dari seorang raja
yang senantiasa mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Motif ini juga berarti
sebagai symbol keadilan dan kesejahteraan.
Ada yang beranggapan bahwa kawung merupakan salah satu
jenis pohon palem atau aren dengan buah yang berbentuk bundar lonjong,
berwarna putih agak jernih yang disebut “kolang-kaling”. Pendapat lain
mengatakan bahwa kawung merupakan bentuk stirilisasi teratai (Lotus) yang
bermakna kesakralan dan kesucian. Pada zaman klasik (pengaruh Hindu Budha),
lotus merupakan simbol dewa-dewa. Oleh karena itu motif ini diartikan sebagai
segal sesuatu yang murni, suci, kembali ke putih.
Pada intinya motif kawung diartikan sebagai bentuk bulat
lonjong atau elips.
Udan Riris :
Mengharapkan rejeki yang datang terus-menerus, meski tidak besar namun
berlangsung secara berkesinambungan, seperti halnya hujan gerimis yang
telah memberi kehidupan di bumi sehingga biji-bijian dapat bersemai dan
tumbuh menjadi tanaman untuk dimakan manusia (memberi
kesejahteraan/prosperity)
Arti kedua, menggambarkan perasaan yang tengah berduka
seperti rintik rintik air hujan.
Motif GRINGSING
(Gringsing buketan-Yogyakarta)
Bentuknya seperti sisik ikan, di bagian tengah terdapat
titik hitam. Menurut kamus van der Tuuk, geringsing adalah nama pakaian
wayang jaman dulu. Pada umumnya gringsing menunjukkan motif bintik hitam.
Warna geringsing adalah hitam dan putih. Makna warna hitam
melambangkan kekekalan. Sedangkan warna putih lambang kehidupan. Keduanya
bermakna sama dengan Bango Tulak. Motif ini dipakai sebagai penolak malapetaka
Sekar Jagad
Sekar=bunga, Jagad= dunia,
Ornamen motif ini berupa aneka bunga dan tanaman yang
tumbuh di seluruh dunia, tersusun di dalam bentuk-bentuk elips.
Sekar jagad melambangkan luapan kegembiraan hati serta
kebahagiaan. Oleh karena itu pada berbagai kesempatan acara keluarga, sering
dipakai, misal pada pertunangan, wisuda, syukuran, dll.
Pada acara ijab kabul dipakai orang tua pengantin
putri. Melambangkan kegembiraan hati orang tua karena putrinya telah
mendapatkan jodoh.
Sido Mukti
(sido mukti, Surakarta)
Berasal dari kata sido yang berarti jadi, menjadi atau
terus menerus. Mukti berarti bahagia, sejahtera, berkecukupan. Motif ini
melambangkan harapan suatu kehidupan masa depan yang baik, penuh kebahagiaan,
dan kesejahteraan yang kekal untuk pengantin tanpa melupakan Tuhan yang telah
memberi kehidupan.
Sido Asih
filosofinya : agar mendapatkan cinta kasih, welas asih.
Bagus dipakai ketika prosesi pernikahan bagi kedua mempelai Asih artinya
kasih sayang. Motif ini bermakna agar hidup rumah tangga kedua pengantin
selalu dipenuhi rasa kasih sayang sehingga mereka selalu merasa bahagia dalam
suka maupun duka.
Sido Mulya
Mulya berarti mulia. Motif ini menyimbolkan harapan agar
keluarga yang dibina akan terus menerus mendapat kemuliaan meskipun mendapat
suatu kesulitan. Namun dengan doa dan usaha yang tekun serta sabar maka
kesulitan tersebut akan teratasi. Mereka pun tetap diberi anugerah kemuliaan.
motif Huk
Motif ini merupakan motif larangan, sebelum pemerintahan
Sultan HB IX (1940-88), hanya boleh dipakai putra mahkota dan Raja. Simbol
bahwa sbg pemimpin harus bertanggung jawab penuh pd rakyat. diibaratkan
seperti Burung Hantu yang tajam penglihatannya, meskipun malam menyelimuti
kerajaan, seorang pemimpin tetap waspada mengayomi rakyatnya. Huk merupakan
kata lain dari burung hantu
Sido
Luhur
Luhur berarti luhur. Dengan mengenakan kain motif tersebut
diharapan kedua pengantin selalu berbudi luhur.
Grompol atau Grombol
Grompol dalam bahasa Jawa berarti berkumpul atau bersatu.
Melambangkan harapan orang tua agar semua hal yang baik akan berkumpul, yaitu
rejeki, kebahagiaan, kerukunan hidup, ketentraman untuk kedua keluarga
pengantin. Selain itu, juga bermakna harapan supaya pasangan keluarga baru
itu dapat berkumpul atau mengingat keluarga besarnya ke mana pun mereka
pergi. Harapan yang lain agar semua sanak saudara dan para tamu akan
berkumpul sehingga pesta pernikahan berjalan meriah.
Tambal
(Tambal Kanoman, Surakarta)
Tambal dalam bahasa Jawa artinya menambal atau memperbaiki
sesuatu menjadi lebih baik. Motif ini merupakan perpaduan berbagai
motif yang diilhami pakaian para pendeta yang terbuat dari kain
bertambal.Dipercaya pakaian pendeta itu dapat melawan pengaruh-pengaruh jahat
atau tolak bala.
Konon, orang sakit yang menggunakan motif tambal
sebagai selimut akan lekas sembuh. Menurut Serat Sanasunu karya R.Ng.
Yasadipura II, rakyat biasa dilarang memakai motif Tambal Kanoman karena
menimbulkan sesuatu yang tidak baik. Motif ini pun sebaiknya tidak dipakai
pengantin karena dikhawatirkan akan mendapat kesulitan ekonomi. Seperti telah
disebutkan di atas motif tambal diilhami dari pakaian pendeta yang bertambal.
Pakaian itu sering dianggap sebagai pakaian orang miskin.
MOTIF SLOBOG
artinya agar longgar. bagusnya untuk melayat. jangan
dipakai untuk menghadiri pernikahan, dianggap memujikan agar cepat menuju
kematian
|
Batik Ikat Celup
1. Pengertian Ikat-Celup
Batik celup atau juga dikenali
sebagai batik ikat, merujuk kepada kaedah mencorak batik dengan cara mencelup kain kedalam pewarna sebanyak beberapa
kali. Corak dan reka bentuk penerapan warna dirancang terlebih dahulu dan
bahagian yang hendak dilindung dari pewarna akan dicorak dengan menggunakan
lilit (yang biasanya dicampur damar) atau diikat ponjok. Lilin atau
ikatan tersebut akan melindung warna sedia ada dari bertukar
apabila dicelup kedalam warna berikutnya.
Pada kebiasaannya, batik celup akan dicelup dari warna cerah
kepada warna semakin gelap. Ini bagi mengelak warna celupan dari bercampur atau
comot. Proses mengikat atau melilin corak batik pada kain putih dan proses
pewarnaan dengan merencam kain ke dalam pewarna akan diulang beberapa kali
dengan corak yang berlainan untuk mendapatkan corak batik yang lengkap.
2. Alat dan Bahan Ikat-Celup
Alat yang digunakan untuk membuat karya seni kriya
tekstil dengan teknik Ikat-celup, antara lain: tali, benang, karet. Benda-benda
ini berfungsi sebagai alat pengikat bentuk-bentuk tertentu pada latar kain yang
akan merintangi dan menghambat teresapnya warna pada bagian-bagian tersebut.
Umumnyateknik Ikat-Celup menggunakan bahan dasar teksil dari serat alam,
seperti: katun, sutra, atau rayon. Selain itu, juga digunakan alat pendukung
pembentuk motif, seperti: kerikil, kelereng, biji-bijian, kayu, plastik,
danjatim jahit.
Pewarna tekstil untuk Ikat-Celup menggunakan pewarna
sintetik dengan pencelupan dingin. Zat pewarna sintetik ini dapat
diklasifikasikan menjadi jenis pewarna langsung (rapid, procion, dan rhemazol)
dan alat untuk proses pewarnaan, antara lain: mangkuk, baskom, atau ember.
Ukuran dan jumlah alat-alat tersebut disesuaikan dengan jumlah dan jenis
pewarna yang akan digunakan.
1. gundu
2. Tambang
3. Karet
4. Kain
Berikut ini adalah langkah-langkah membuat karya seni kriya
tekstil dengan teknik ikat-celup.
3. Pembuatan ikat celup
Teknik pembentukan corak pada ikat-celup terdiri dari teknik
jumputan, lipat, gulung,dan jahit jelujur
1) Teknik jumputan, dilakukkan dengan memegang permukaan
kain dengan ujung jari. Setelah itu, permukaan kain tersebut diikat drngan
kuat. Cara mengikatnya dilakukan dengan ikatan datar, miring, dan
kombinasi.
2) Teknik lipat, gulung, dan jelujur, dilakukan dengan cara
meliputi, menggulung, atau menjelujur/menjahit kain. Setelah itu, kain ditarik
samnpai terkumpul, lalu diikat hingga kencang.
Pada saat mengikat, jalinlah kain dengan kuat sehingga
membentuk corak yang optimal. Untuk mendapatkan corak tertentu, bagian
pada latar kain diisi dengan kerikil atau biji-bijian, selanjutnya bahan-bahan
pendukung ini memudahkan zat warna masuk kedalam pori-pori kain. Setelah semua
rancangan diikat, kain siap diwarnai, yitu dengan cara dicelup.
Teknik jahit yang digunakan dalah jahit jelujur dengan jarak
yang tidak terlalu rapat. Seluruh corak dijahit di bagian pinggirnya dengan
satu jahitan atau lebih. Setelah seluruh corak dijahit, benang ditrik dengan
kuat hingga permukaan kain mengkerut, rapat, dan padat. kekuatan menarik benang
ini perlu diperhatikan karena menentukan kualitas corak yang dihasilkan. Efek
kerutan akan muncul membentuk corak yang sangat menarik. Penggambaran corak
dilakukan terlebih dahulu diatas kertas, kemudian dibuat polanya di
atas karton tebal. Corak ini kemudian digambar di atas kain berdasarkan
pola dari karton tebal.
pembuatan dengan kain katun
membuat pola
mencelup kain
Add caption
|
dan hasilnya seperti ini !
b. Pewarnaan
Pewarnaan ikat-celup dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
celup dan colet.
1) Pencelupan, dilakukan dengan cara memasukan seluruh
bagian kain yang telah diikat kedalam larutan warna. Apalagi jumlah warna yang
diinginkan lebih dari satu, pencelupan perlu dilakukan berulang-ulang untuk
mendapatkan jumlah warna yang diinginkan. Namun sebelum sebelum pencelupan
berikutnya, kita harus menutup bagian kain tertentu dengan bahan penutup
pendukung seperti plastik atau bahan lentur lain yang kedap cairan.
Dengan teknik ringtang melalui ikatan dan jahitan akan
muncul corak yang beragam. Pada saat mencelup janngan llupa menggunakan sarung
tangan plastik, agar racun yang terkandung dalam zat pewarna tidak meresap ke
dalam tubuh melalui pori-pori tangan.
2) Colet, Colet adalah cara memberi warna pada
bagian-bagian tertentu di permukaan kain. Alat yang digunakan adalah kuas.
Pencoletan biasanya dilakukan untuk mewarnai bagian corak yang kecil atu
terlalu sedikit bila harus dicelup. Pada umumnya teknik pewarnaan pada
ikat-celupsering dilakukan dengan memadukan colet dan celup untuk mendapatkan
kain dengan corak yang kaya warna.
3) Penyelesainan akhir, setelah proses pewarnaan
selesai, kain direndam dalam larutan pengikat warna agar tidak mudah luntur.
Kemudian kain dicuci dan ditiriskan. Setelah itu diangin-anginkan sampai
kering. Tujuannya adalah untuk menghentikan proses perembesan zat warna kedalam
lekukan kain.
KAIN SONGKET PALEMBANG
1.1 Sejarah Songket
Indonesia kaya sekali dengan aneka ragam kebudayaan
daerah, diantaranya kain - kain khas daerah yang memiliki corak serta bahan
khas dari daerah masing - masing. Sebagai orang Indonesia, tentu kita sangat
bangga dengan aneka ragam kain daerah yang ada di Indoensia ini. Beberapa
daerah di Indonesia memiliki kain khas daerah yang berupa kain tenun. Seperti
kain tenun Troso - Jepara, kain songket Palembang, dll. Walaupun sama - sama
dibuat dengan cara ditenun, namun setiap daerah memiliki corak yang berbeda.
Begitu pula dengan kain songket Palembang.
Songket adalah
jenis kain tenunan
tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia,
dan Brunei.
Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan
tangan dengan benangemas dan perak dan pada
umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun
berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari
istilah sungkit dalam bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti “mengait” atau
“mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan
mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain
itu, menurut sementara orang, katasongket juga mungkin berasal dari
kata songka, peci khas Palembang yang
dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai.
Isitilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’.
Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan
atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan
di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan
kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai
oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan
Melayu.Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara
atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun
songket.Beberapa kain songket tradisional sumatra memiliki pola yang
mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi
sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya
dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan
dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue lokal
Melayu seperti seri kaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan
favorit raja.
Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket
adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa
menyediakan benang sutera sedangkan orang Indiamenyumbang benang emas dan
perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai
Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas
atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara
pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik
tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang
kemudian berkembang ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan
Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu,
justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama
kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan
dikaitkan dengan kegemilanganSriwijaya, kemaharajaan niaga
maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di
Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur
di Indonesia adalah kotaPalembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya
memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun
tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera
terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau.
Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera,
bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan
lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal
telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi.Songket
mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket
Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi
kualitasnya, yang berjuluk “Ratu Segala Kain”. Songket eksklusif memerlukan di
antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa
hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan
songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala.
Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.
Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti
peninggalan kerajaan Sriwijaya yang mampu penguasai perdagangan di Selat Malaka
pada zamannya. Para ahli sejarah mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar
abad XI setelah runtuhnya kerajaan Melayu memegang hegemoni perdagangan laut
dengan luar negeri, diantara negara yang mempunyai hubungan dagang dengan
kerajaan Sriwijaya adalah India, Cina, Arab dll. Keberadaan hegemoni
perdagangan ini menunjukan sebuah kebesaran kerajaan maritim di nusantara pada
masa itu. Keadaan geografis yang berada di lalu lintas antara jalut perdagangan
Cina dan India membuat kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim dan
perdagangan internasional.
Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain
tenun ini, memberikan nilai tersendiri dan menunjukan sebuah kebesaran dari
orang-orang yang membuat kain songket. Apabila kita melihat rangkaian benang yang
tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris, menunjukan bahwa kain ini
dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami
berbagai cara untuk membuat kain bermutu, yang sekaligus mampu
menghias kain dengan beragam desain. Kemampuan ini tidak semua orang mampu
mengerjakannya, keahlian dan ketelitian mutlak diperlukan untuk membuat sebuah
kain songket. Pengetahuan ini biasanya diperoleh dengan cara turun temurun dari
generasi ke generasi selanjutnya.
Menurut para ahli sejarah, seperti dikutip oleh Agung S dari
Team Peneliti ITT Bandung dalam bukunya yang berjudul “Pengetahuan Barang
Tekstil” ( 1977:209 ), mengatakan bahwa sejak zaman Neolithikum, di Indonesia
sudah mengenal cara membuat pakaian. Dari alat-alat peninggalan zaman
Neolithikum tersebut dapat diketahui bahwa kulit kayu merupakan pakaian manusia
pada zaman prasejarah di Indonesia. Alat yang digunakan adalah alat pemukul
kulit kayu yang dibuat dari batu,seperti yang terdapat pada koleksi Museum
Pusat Jakarta. Disamping pakaian dari kulit kayu, dikenal juga bahan pakaian
dengan mengunakan kulit binatang yang pada umumnya dipakai oleh laki–laki
sebagai pakaian untuk upacara ataupun pakaian untuk perang. Sejak zaman
prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia juga sudah mengenal teknik menenun. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari zaman prasejarah yang
didalamnya terdapat bentuk hiasan yang terbuat dari kain tenun kasar.
Kemakmuran dizaman itu terlihat dari adanya kerajaan
Sriwijaya yang menghasilkan berbagai kain songket, dimana pada masa itu
diperkirakan gemerlap warna kain songket untuk para pejabat kerajaan khususnya
untuk raja di berikan sulaman berbahan emas. Sebagai kerajaan yang kaya dengan
emas dan berbagai logam mulai lainnya, sebagian emas-emas tersebut dikirim kenegeri
Siam (Thailand) untuk dijadikan benang emas yang kemudian dikirim kembali
kekerajaan Sriwijaya, oleh para perajin benang emas tersebut ditenun dengan
menggunakan benang sutra berwarna yang pada masa itu diimpor dari Siam
(Thailand), India dan Tiongkok (Cina). Perdagangan internasional membawa
pengaruh besar dalam hal pengolahan kain songket terutama dalam memadukan bahan
yang akan digunakan sebagai kain songket. Kain Songket untuk Raja dan
kelurganya tentu memerlukan bahan dan pengerjaan yang lebih, benang sutra yang
dilapisi emas menjadi bahan yang menonjol dalam pembuatanya, sehingga
menghasilkan sebuah kain songket gemerlap, yang menunjukan sebuah kebesaran dan
kekayaan yang tidak terhingga.
Pemakaian kain songket pada umumnya dipakai sebagai pakaian
adat masyarakat Palembang untuk menghadiri upacara perkawinan, upacara cukur
rambut bayi dan sebagai busana penari Gending Sriwijaya (Tarian selamat
datang). Menurut Djamarin.dkk dari Team ITT Bandung ( 1977:217-218 ) meyebutkan
tentang jenis-jenis motif kain songket Palembang, diantaranya adalah :
a. Songket Lepus
Lepus berarti menutupi, jadi pengertian kain songket lepus adalah songket yang mempunyai benang emasnya hampir menututpi seluruh bagian kain. Benang emasnya dengan kualitas tinggi didatangkan dari China. Kadangkala benang emas ini diambil dari kain songket yang sudah sangat tua (ratusan tahun) karena kainnya menjadi rapuh, benang emas disulam kembali ke kain yang baru. Kualitas jenis songket lepus merupakan kualitas yang tertinggi dan termahal harganya. Sesuai dengan gambar motifnya, maka kain songket lepus inipun bermacam-macam namanya, antara lain songket lepus lintang (bergambar bintang), songket lepus buah anggur, songket lepus berantai, songket lepus ulir, dan lain-lain.
Lepus berarti menutupi, jadi pengertian kain songket lepus adalah songket yang mempunyai benang emasnya hampir menututpi seluruh bagian kain. Benang emasnya dengan kualitas tinggi didatangkan dari China. Kadangkala benang emas ini diambil dari kain songket yang sudah sangat tua (ratusan tahun) karena kainnya menjadi rapuh, benang emas disulam kembali ke kain yang baru. Kualitas jenis songket lepus merupakan kualitas yang tertinggi dan termahal harganya. Sesuai dengan gambar motifnya, maka kain songket lepus inipun bermacam-macam namanya, antara lain songket lepus lintang (bergambar bintang), songket lepus buah anggur, songket lepus berantai, songket lepus ulir, dan lain-lain.
b. Songket Tawur
Pada desain songket tawur yaitu kain yang pada motifnya tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok-kelompok dan letaknya menyebar (bertabur/tawur). Benang pakan sebagai pembentuk motif tidak disisipkan dari pinggir kepinggir kain seperti pada halnya penenunan kain songket yang biasa, tetapi hanya berkelompok–kelompok saja. Sama halnya dengan songket lepus, songket tawur pun bermacam-macam namanya antara lain songket tawur lintang, songket tawur tampak manggis, songket tawur nampan perak, dan lain-lain
Pada desain songket tawur yaitu kain yang pada motifnya tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok-kelompok dan letaknya menyebar (bertabur/tawur). Benang pakan sebagai pembentuk motif tidak disisipkan dari pinggir kepinggir kain seperti pada halnya penenunan kain songket yang biasa, tetapi hanya berkelompok–kelompok saja. Sama halnya dengan songket lepus, songket tawur pun bermacam-macam namanya antara lain songket tawur lintang, songket tawur tampak manggis, songket tawur nampan perak, dan lain-lain
c. Songket Tretes Mender
Pada kain songket jenis ini tidak dijumpai suatu gambar motif pada bagian tengah kain (polosan). Motif-motif yang terdapat dalam songket tretes mender hanya ada pada kedua ujung pangkal dan pada pinggir-pinggir kain.
Pada kain songket jenis ini tidak dijumpai suatu gambar motif pada bagian tengah kain (polosan). Motif-motif yang terdapat dalam songket tretes mender hanya ada pada kedua ujung pangkal dan pada pinggir-pinggir kain.
d. Songket Bungo Pacik
Pada kain songket jenis ini, sebagian besar motifnya terbuat dari benang emas yang digantikan dengan benang kapas putih, sehingga tenunan benang emasnya tidak banyak lagi dan hanya dipakai sebagai selingan saja.
Pada kain songket jenis ini, sebagian besar motifnya terbuat dari benang emas yang digantikan dengan benang kapas putih, sehingga tenunan benang emasnya tidak banyak lagi dan hanya dipakai sebagai selingan saja.
e. Songket Kombinasi
Pada songket jenis ini merupakan kombinasi dari jenis-jenis songket diatas, misalnya songket bungo Cina adalah gabungan songket tawur dengan songket bungo pacik sedangkan songket bungo intan adalah gabungan antara songket tretes mender dengan songket bungo pacik.
Pada songket jenis ini merupakan kombinasi dari jenis-jenis songket diatas, misalnya songket bungo Cina adalah gabungan songket tawur dengan songket bungo pacik sedangkan songket bungo intan adalah gabungan antara songket tretes mender dengan songket bungo pacik.
f. Songket Limar
Kain songket ini tidak dibentuk oleh benang-benang tambahan seperti halnya pada songket-songket lainnya. Motif kembang-kembangnya berasal dari benang-benang pakan atau benang lungsi yang dicelup pada bagian-bagian tetentu sebelum ditenun. Biasanya songket limar dikombinasikan dengan songket berkembang dengan benang emas tawur hingga disebut songket limar tawur. Macam dari songket limar diantaranya adalah jando berhias, jando pengantin serta kembang pacar.
Kain songket ini tidak dibentuk oleh benang-benang tambahan seperti halnya pada songket-songket lainnya. Motif kembang-kembangnya berasal dari benang-benang pakan atau benang lungsi yang dicelup pada bagian-bagian tetentu sebelum ditenun. Biasanya songket limar dikombinasikan dengan songket berkembang dengan benang emas tawur hingga disebut songket limar tawur. Macam dari songket limar diantaranya adalah jando berhias, jando pengantin serta kembang pacar.
Untuk menguatkan dasar kain songket dalam penenunan benang
emas atau benang perak, maka sering digunakan serat katun untuk lungsinya serta
sutra untuk pakannya.
1.3 Cara pembuatan kain songket
Kain songket merupakan mahkota seni penenunan yang bernilai
tinggi. Teknik pembuatannya memerlukan kecermatan tinggi. Benang lungsi sutera
dimasukkan melalui sisir tenun dan hendle utama pada rangkaian kain yang
membentuk pola simetris dan diisi oleh benang sutra dan benang emas.
Bahan baku kain songket Palembang ini adalah berbagai jenis
benang, seperti benang kapas atau dari bahan benang sutera. Untuk membuat kain
songket yang bagus digunakan bahan baku benang sutera berwarna putih yang
diimpor dari India, Cina atau Thailand. Sebelum ditenun, bahan baku diberi
warna dengan jalan dicelup dengan warna yang dikehendaki. Warna dominan dari
tenun songket Palembang ini, merah. Namun, saat ini penenun dari Palembang
sudah menggunakan berbagai warna, yaitu warna yang biasa digunakan untuk
tekstil.
Dahulu, kain songket tradisional dicelup dengan warna -
warna yang didapat dari alam. Teknik ini diteruskan ke anak cucu secara turun
temurun. Biasanya warna merah, didapat dari pengolahan kayu sepang dengan jalan
mengambil inti kayunya dan direbus, dan mengkudu, yang didapat dari akarnya.
Warna biru didapat dari indigo, warna kuning didapat dari dari kunyit. Untuk
mendapatkan warna sekunder seperti hijau, oranye dan ungu, dilakukan
percampuran cat dari warna primer merah,biru dan kuning. Sedangkan untuk
mencegah agar warna tidak luntur atau pudar pada waktu pencelupan ditambahkan
tawas.
Setelah benang diberi warna, lalu ditenun dengan alat yang
sederhana. Penempatan benang-benang telah dihitung dengan teliti. Benang yang
memanjang atau vertikal disebut lungsi, benang yang ditempatkan melebar atau
horizontal disebut benang pakan. Hasil persilangan kedua jenis benang ini
terangkai menjadi kain. Karena rumitnya proses bertenun ini, sehelai kain dapat
diselesaikan dalam waktu ber bulan - bulan. Apalagi di masa lalu, menenun
dikerjakan oleh para ibu pada waktu senggang ketika pekerjaan mengurus rumah
tangga atau bertani telah selesai.
Tenun songket biasanya diberi motif berwarna emas. Benang
emas yang dipakai ada tiga jenis, yaitu benang emas cabutan, benang emas
Sartibi dan benang emas Bangkok. Untuk mendapatkan motif songket berbenang
emas, ditambahkan benang emas yang sudah dihitung kemudian ditenunkan di antara
benang tadi.
Benang emas cabutan didapat dari kain songket antik yang
sebagian kainnya sudah rusak, yang diurai kembali. Benang emas cabutan masih
kuat karena dibuat dari benang katun yang dicelupkan ke dalam cairan emas 24
karat.
Pengerjaaan yang rumit dengan mengurai kembali benang yang
sudah ditenun ini menghasilkan kain songket yang baru yang berkesan antik.
Dengan pembuatan dan pengerjaan yang harus sangat telaten ini wajarlah harga
kain songket bisa berlipat ganda.
Jenis yang kedua, benang emas Sartibi. yaitu benang emas
sintetis dari pabrik benang di Jepang. Benang ini halus, dan tidak mengkilap,
hasil tenunannya lebih halus dan ringan. Jenis benang emas yang ketiga yaitu
benang Bangkok yang mengkilap dan memang didatangkan dari Bangkok.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat songket, antara
lain seperti alat tenun, rungsen, benang emas, benang merah, baliro, lidi,
buluh, pleting dan lain sebagainya. Dalam pembuatan songket diperlukan
ketekunan, keuletan, dan kesabaran. Kalau dilakukan terburu-buru hasilnya tidak
bagus. Waktu yang dibutuhkan untuk menenun satu songket biasanya paling cepat
setengah bulan dan paling lama satu bulan. Waktu tersebut belum termasuk
membuat motif. Sehingga untuk membuat satu songket waktu diperlukan bisa satu
bulan setengah.
Proses pembuatan melalui beberapa tahapan, pertama yaitu
pencelupan, Benang Sutera yang masih putih dicelup sesuai warna yang
dikehendaki, setelah itu dijemur dengan bambu panjang di terik matahari untuk
membuat kain dan selendang (ukuran lebar kain 90 cm untuk selendang 60 cm,
sedangkan panjangnya 165 hingga 170). Setelah benang kering maka akan dilakukan
proses desain (pencukitan) dengan menggunakan lidi sesuai dengan motif yang dikehendaki.
Setelah proses pencukitan selesai maka akan dilakukan proses
penenunan yang memerlukan waktu mulai 2 hingga 3 bulan. Didalam proses
penenunan ini benang lungsi sutera dimasukkan kealat tenun melalui sisir tenun
dan henddle utama pada rangkaian kain yang membentuk pola simetris dan diisi
oleh benang sutra dan benang emas tambahan. Alat yang digunakan untuk proses
penenunan ini selain 1 (satu) set alat tenun, digunakan juga baliro yang
digunakan untuk menyentak benang di lungsi dengan benang pakan. Benang pakan
dimasukkan dengan menggunakan alat yang bernama peleting. Sedangkan untuk
mempermudah benang pakan yang ada di peleting masuk ke lungsi teropong didorong
melewati benang lungsi. Setelah benang di peleting lewat, baik benang sutera
maupun benang emas ataupun benang limar, maka dilakukan penenunan dengan
menyentak benang dengan beliro yang dibantu dengan sisir tenun. Proses
penenunan dimulai dari ujung kain, dilanjutkan sesuai dengan motif kain. Setiap
songket mempunyai tumpal kain. Tumpal kain biasanya diletakkan di bagian depan
ketika kain dipakai.
Selain songket yang dibuat dengan benang emas baru, songket
juga dibuat dengan benang emas cabutan. Benang emas cabutan didapat dari kain
songket antik yang sebagian kainnya sudah rusak, yang diurai kembali. Proses
cabutan adalah proses pemisahan benang Emas dari songket lama. Satu persatu
benang emas dipilih dan dipisahkan dari kain pakan dan lungsen lama yang akan
diganti. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena benang emas yang
sudah berumur tersebut bisa mengalami pengelupasan (rontok). Setelah benang
dipisah dari kain yang lama, kemudian di rol dengan gulungan.
Biasanya, benang yang dipisahkan atau dicabut dari kain
pakan dan lungsen mengalami putus-putus menurut lekuk dari kain maka dilakukan
proses penyambungan. Setelah dilakukan penyambungan, benang emas digulung
dengan pleting yang dimasukkan ke dalam teropong (keduanya terbuat dari bambu)
agar saat ditenun benang emas tidak terputus. Proses-proses tersebut memakan
waktu hingga 10 hari. Setelah proses pencabutan dan penggulungan, benang emas
mulai ditenun, yaitu memasukkan benang emas dan benang sutera sesuai dengan
motif.
Harga songket agak tergolong mahal. Bahan baku pembuatan
songket hampir seluruhnya diimpor, hal ini membuat harga jenis kain tergolong
mahal. Benang sutra dan benang emas ini sejak dahulu diimpor dari China,
Jepang, dan Thailand. Namun benang sutra lokal dapat digunakan tetapi agak
susah ditenun. Selain jenis bahan baku yang dipakai, harga kain songket juga
ditentukan oleh pola motif penuh atau motif tabur pada kain. Makin penuh
bermotif tentu harganya makin mahal. Tingkat kerapatan tenunan songket juga
turut memengaruhi harga.
Perawatan kain songket harus dilakukan dengan hati-hati.
Kain songket tidak bisa terkena panas atau disimpan di ruangan yang
sembarangan. Perawatannya harus benar-benar diperhatikan. Setelah dipakai kain
songket mesti diangin-anginkan terlebih dulu, kemudian digulung dan setiap tiga
bulan sekali harus dibuka (dijabarkan) untuk menghilangkan bau atau ngengat
yang mungkin ada di dalam lipatannya.
1.4Tips Untuk Memelihara Songket Palembang
1. Kain songket sebaiknya
digulung mengelilingi batang pralon atau karton seperti menyimpan tekstil
modern tetapi kain songket hendaknya dilapisi dahulu dengan kertas minyak,
kertas roti atau kertas kopi. Jangan sekali-kali menggunakan kertas koran.
2. Kemudian kain
dibungkus plastik disimpan dalam lemari dan diletakkan berdiri atau miring.
3. Lemari penyimpanan di
beri butir-butir lada atau cengkeh yang ditakuti rayap atau ngengat.
4. Kain tidak boleh di
dry clean atau di laundry jadi hanya diangin-anginkan.
Macam – macam kain songket
a.
Songket Lepus
Songket lepus adalah songket yang benang emasnya hampir menutupi seluruh bagian kain. Songket ini merupakan kualitas tertinggi dan termahal harganya. Sesuai dengan gambar motifnya, maka kain songket lepus inipun bermacam-macam namanya, antara lain songket lepus lintang (bergambar bintang), songket lepus buah anggur, songket lepus berantai, songket lepus ulir, dan lain-lain.
Songket Lepus
|
b. Songket Tawur
Pada songket ini motifnya tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok-kelompok dan letaknya menyebar (bertabur/tawur). Benang pakan sebagai pembentuk motif tidak disisipkan dari pinggir kepinggir kain seperti pada halnya penenunan kain songket yang biasa, tetapi hanya berkelompok–kelompok saja.Songket tawur antara lain songket tawur lintang, songket tawur tampak manggis, songket tawur nampan perak, dan lain-lain.
c. Songket Tretes Mender
Pada kain songket jenis ini tidak dijumpai suatu gambar motif pada bagian tengah kain (polosan). Motif-motif yang terdapat dalam songket tretes mender hanya ada pada kedua ujung pangkal dan pada pinggir-pinggir kain.
d. Songket Bungo Pacik
Sebagian besar motif pada songket jenis ini terbuat dari benang emas yang digantikan dengan benang kapas putih, sehingga tenunan benang emasnya tidak banyak lagi dan hanya dipakai sebagai selingan saja.
Songket bungo pacik
|
e. Songket Kombinasi
Pada songket jenis ini merupakan kombinasi dari jenis-jenis songket diatas, misalnya songket bungo Cina adalah gabungan songket tawur dengan songket bungo pacik sedangkan songket bungo intan adalah gabungan antara songket tretes mender dengan songket bungo pacik.
Songket kombinasi
|
f. Songket Limar
Kain songket ini tidak dibentuk oleh benang-benang tambahan seperti halnya pada songket-songket lainnya. Motif kembang-kembangnya berasal dari benang-benang pakan atau benang lungsi yang dicelup pada bagian-bagian tetentu sebelum ditenun. Biasanya songket limar dikombinasikan dengan songket berkembang dengan benang emas tawur hingga disebut songket limar tawur. Macam dari songket limar diantaranya adalah jando berhias, jando pengantin serta kembang pacar.
Kain sasirangan adalah sejenis
kain yang diberigambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara
tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.
Secara etimologis istilah
Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah
kata kerja. Sa artinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini berarti sasirangan
artinya dibuat menjadi satu jelujur.
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama.
Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.
Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.
Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13).
Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidakada lagi.
Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah).
Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan kain langgundi.
Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang (kakamban), dan ikat kepala (laung). Corak dan warna gambar kain langgundi sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja), karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelup ke dalam zat pewarna).
Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.
Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.
Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.
Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong).
Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006).
Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.
Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biro menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para juru
sembuhnya.
Sementara proses penyem¬buhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal .
Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini.
Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara.
Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, arfinya mata buta dan tangan coati rasa karena terkena stroke).
Tahun 1981, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan datang bertandang ke rumah nenek Antung Kacil, seorang juru sembuh yang menjadikan kain sasirangan sebagai sarana pelengkap terapi pengobatannya. Mereka meminta kesediaan nenek Antung Kacil mengajarkan kiat-kiat membuat kain sasirangan.
Pada mulanya Antung Kacil tidak bersedia. la khawatir Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan terkena tulah mata picak tangan tengkong, karena telah berani belajar membuat kain sasirangan secara tanpa hak sesuai dengan yang disyaratkan sejak zaman dahulu kala.
Tanpa maksud menantang bahaya, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan menyatakan siap, menanggung tulah itu. Mereka yakin tidak akan kualatkerkena tulah itu karena tujuan mereka belajar membuat kain sasirangan kepada. Antung Kacil semata-mata didasari dengan niat tulus, yakni ikut melestarikan salah satu kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar yang terancam punch. Akhirnya, hati Antung Kacil luluh juga.
Pada, tanggal 24 Juli 1982, Ida Fitriah Kusuma sudah berani mengajarkan ilmu yang barn dikuasainya kepada ibu-ibu warga kota Banjarmasin yang berminat. Selepas pelatihan itu, yakni tanggal 10 Agustus 1982, mereka membentuk Kelompok Kerja Pembuat Kain sasirangan Banawati (Wulan, 2006).
Kain sasirangan produksi mereka mulai diperkenatkan kepada khalayak ramai pada tanggal 27 Desember 1982. Ketika itu mereka menggelar peragaan busana kain sasirangan di Hotel Febiola Banjarmasin. Sambutannya sungguh luar biasa. Sejak itu kain sasirangan mulai dikenal lugs oleh segenap anggota masyarakat di Kalsel.
Bak gayung bersambut, kata berjawab, Gubernur Kalsel Ir HM Said kemudian mengeluarkan kebijakan mewajibkan para PNS mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada setiap hari Jumat (1985). Tidak hanya itu, para calon jemaah haji Kalsel juga, diwajibkan mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada scat upacara pelepasan keberangkatan mereka di Aula Asrama Haji Lanclasan Ulin Banjarbaru.
Tahun 1987, kain sasirangan dipamerkan di Departemen Perindustrian Jakarta. Pihak pemerintah daerah berinisiatif memberikan cinderamata kain sasirangan berkuahtas istimewa kepada para pejabat tinggi sipil dan militer yang berkunjung ke daerah kalsel.
Sejak tahun 1985 fungsi kain sasirangan sudah kembali menjadi kain yang berfungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara sebagaimana yang dulu berlaku sebelum tahun 1355. Tidak lagi berfungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani para pengidap penyakit pingitan.
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama.
Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.
Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.
Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13).
Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidakada lagi.
Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah).
Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan kain langgundi.
Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang (kakamban), dan ikat kepala (laung). Corak dan warna gambar kain langgundi sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja), karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelup ke dalam zat pewarna).
Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.
Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.
Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.
Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong).
Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006).
Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.
Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biro menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para juru
sembuhnya.
Sementara proses penyem¬buhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal .
Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini.
Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara.
Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, arfinya mata buta dan tangan coati rasa karena terkena stroke).
Tahun 1981, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan datang bertandang ke rumah nenek Antung Kacil, seorang juru sembuh yang menjadikan kain sasirangan sebagai sarana pelengkap terapi pengobatannya. Mereka meminta kesediaan nenek Antung Kacil mengajarkan kiat-kiat membuat kain sasirangan.
Pada mulanya Antung Kacil tidak bersedia. la khawatir Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan terkena tulah mata picak tangan tengkong, karena telah berani belajar membuat kain sasirangan secara tanpa hak sesuai dengan yang disyaratkan sejak zaman dahulu kala.
Tanpa maksud menantang bahaya, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan menyatakan siap, menanggung tulah itu. Mereka yakin tidak akan kualatkerkena tulah itu karena tujuan mereka belajar membuat kain sasirangan kepada. Antung Kacil semata-mata didasari dengan niat tulus, yakni ikut melestarikan salah satu kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar yang terancam punch. Akhirnya, hati Antung Kacil luluh juga.
Pada, tanggal 24 Juli 1982, Ida Fitriah Kusuma sudah berani mengajarkan ilmu yang barn dikuasainya kepada ibu-ibu warga kota Banjarmasin yang berminat. Selepas pelatihan itu, yakni tanggal 10 Agustus 1982, mereka membentuk Kelompok Kerja Pembuat Kain sasirangan Banawati (Wulan, 2006).
Kain sasirangan produksi mereka mulai diperkenatkan kepada khalayak ramai pada tanggal 27 Desember 1982. Ketika itu mereka menggelar peragaan busana kain sasirangan di Hotel Febiola Banjarmasin. Sambutannya sungguh luar biasa. Sejak itu kain sasirangan mulai dikenal lugs oleh segenap anggota masyarakat di Kalsel.
Bak gayung bersambut, kata berjawab, Gubernur Kalsel Ir HM Said kemudian mengeluarkan kebijakan mewajibkan para PNS mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada setiap hari Jumat (1985). Tidak hanya itu, para calon jemaah haji Kalsel juga, diwajibkan mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada scat upacara pelepasan keberangkatan mereka di Aula Asrama Haji Lanclasan Ulin Banjarbaru.
Tahun 1987, kain sasirangan dipamerkan di Departemen Perindustrian Jakarta. Pihak pemerintah daerah berinisiatif memberikan cinderamata kain sasirangan berkuahtas istimewa kepada para pejabat tinggi sipil dan militer yang berkunjung ke daerah kalsel.
Sejak tahun 1985 fungsi kain sasirangan sudah kembali menjadi kain yang berfungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara sebagaimana yang dulu berlaku sebelum tahun 1355. Tidak lagi berfungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani para pengidap penyakit pingitan.
Kain Sasirangan, kerajinan khas daerah Kalimantan Selatan
Kain sasirangan yang
merupakan kerajinan khas daerah Kalimantan Selatan (Kalsel) menurut para tetua
masyarakat setempat, dulunya digunakan sebagai ikat kepala (laung), juga
sebagai sabuk dipakai kaum lelaki
serta sebagai selendang, kerudung, atau udat (kemben) oleh kaum wanita.
Kain ini juga sebagai pakaian adatdipakai pada upacara-upacara adat, bahkan
digunakan pada pengobatan orang sakit. Tapi saat ini, kain sasirangan
peruntukannya tidak lagi untuk spiritual sudah menjadi pakaian untuk kegiatan
sehari-hari, dan merupakan ciri khas sandang dari Kalsel. Di Kalsel, kain
sasirangan merupakan salah satu kerajinan khas daerah yang perlu dilestarikan
dan dikembangkan. Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang (bahasa setempat)
yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam
istilah bahasa jahit menjahit dismoke/dijelujur. Kalau di Jawa disebut
jumputan. Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori, polyester yang
dijahit dengan cara tertentu. Kemudian disapu dengan bermacam-macam warna yang
diinginkan, sehingga menghasilkan suatu bahan busana yang bercorak aneka warna
dengan garis-garis atau motif yang menawan.
Proses
Pembuatan Kain Sasirangan
Pertama menyirang kain, Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif kain adat, lantas disirang atau dijahit dengan tangan jarang-jarang/renggang mengikuti motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya dengan tujuan untuk mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut dengan rapat dan kain sudah siap untuk masuk proses selanjutnya.
Pertama menyirang kain, Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif kain adat, lantas disirang atau dijahit dengan tangan jarang-jarang/renggang mengikuti motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya dengan tujuan untuk mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut dengan rapat dan kain sudah siap untuk masuk proses selanjutnya.
Kedua
penyiapan zat warna, Zat warna yang digunakan adalah zat warna untuk membatik.
Semua zat warna yang untuk membatik dapat digunakan untuk pewarnaan kain
sasirangan. Tapi zat
warna yang sering digunakan saat ini adalah zat warna naphtol dengan
garamnya. Bahan lainnya sebagai pembantu adalah soda api (NaOH), TRO/Sepritus,
air panas yang mendidih. Mula-mula zat warna diambil secukupnya, kemudian
diencerkan/dibuat pasta dengan menambahkan TRO/Spirtus, lantas diaduk sampai
semua larut/melarut. Setelah zat melarut semua, kemudian ditambahkan beberapa
tetes soda api dan terakhir ditambahkan dengan air panas dan air dingin
sesuai dengan keperluan. Larutan harus bening/jernih. Untuk melarutkan zat
warna naphtol sudah dianggap selesai dan sudah dapat dipergunakan untuk
mewarnai kain sasirangan.
Untuk
membuat warna yang dikehendaki, maka zat warna naphtol harus
ditimbulkan/dipeksasi dengan garamnya. Untuk melarutkan garamnya, diambil
sesuai dengan keperluan kemudian ditambahkan air panas sedikit demi sedikit
sambil diaduk-aduk kuat-kuat sehingga zat melarut semua dan didapatkan larutan
yang bening. Banyaknya larutan disesuaikan dengan keperluan. Kedua larutan
yaitu naphtol dan garam sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain
sasirangan, yaitu dengan cara pertama-tama
mengoleskan/menyapukan zat warna naphtol pada kain yang telah disirang yang
kemudian disapukan lagi/dioleskan larutan garamnya sehingga akan timbul warna
pada kain sasirangan yang sudah diolesi sesuai dengan warna yang diinginkan.
Setelah seluruh kain diberi warna, kain dicuci bersih-bersih sampai air cucian
tidak berwarna lagi.
Kain yang sudah bersih, kemudian
dilepaskan jahitannya sehingga terlihat motif-motif bekas jahitan diantara
warna-warna yang ada pada kain tersebut. Sampai disini proses pembuatan kain
sasirangan telah selesai dan dijemur salanjutnya diseterika dan siap untuk
dipasarkan.
0 komentar:
Posting Komentar